Kumpulan artikel tentang Pengetahuan, pendidikan dan dunia

Jumat, 17 November 2023

Kebudayaan Dan Teknologi Masa Praaksara

| Jumat, 17 November 2023
teknologi pada masa praaksara

Sahabat Pustaka Pengetahuan ketahui bahwa sekalipun belum mengenal tulisan manusia purba sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan  atau  teknologi  bebatuan  tersebut  dapat berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and error. 

Pada awalnya mereka hanya menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman batu ini dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum. 

1. Antara Batu dan Tulang 

Adapun peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman Tersier dan awal zaman Kuarter. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini  secara  umum  ini  terbagi  menjadi  Kebudayaan  Pacitan  dan Kebudayaan Ngandong. 

a. Kebudayaan Pacitan.

kebudayaan pacitan

Pada kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini. Seorang ahli, von  Koeningwald  dalam  penelitiannya  pada  tahun  1935  telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di Sungai Baksoka dekat Punung. Alat batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih.  

Adapun alat-alat itu oleh Koenigswald digolongkan sebagai alat- alat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koenigswald ini kemudian dianggap kurang tepat. Setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia. 

chopper

Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Daerah Punung  merupakan  daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan  hingga  saat  ini  merupakan  tempat  penemuan  terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli condong kepada jenis manusia Pithecanthropus  atau  keturunan-keturunannya  sebagai  pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir. 

Setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia. Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Daerah Punung  merupakan  daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan  hingga  saat  ini  merupakan  tempat  penemuan  terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli condong kepada jenis manusia Pithecanthropus  atau  keturunan-keturunannya  sebagai  pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir. 

b. Kebudayaan Ngandong.

kebudayaan ngandong

      Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan  tanduk  rusa  yang  diperkirakan  digunakan  sebagai penusuk  atau  belati.  Selain  itu,  ditemukan  juga  alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alat- alat ini sering disebut dengan flakes. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.

2. Antara Pantai dan Gua 

Zaman  batu  terus  berkembang  memasuki  zaman  batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil  kebudayaan  zaman  Paleolitikum  (batu  tua).  Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flakes dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua. 

a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger. 

kebudayaan kjokkenmoddinger.

Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger =  sampah  dapur).  Dalam  kaitannya  dengan  budaya  manusia, kjokkenmoddinger  merupakan  tumpukan  timbunan  kulit  siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat  memberi  informasi  bahwa  manusia  purba  zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu. 

b. Kebudayaan Abris Sous Roche.

Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928  sampai  1931.  Beberapa  hasil  teknologi  bebatuan  yang ditemukan misalnya ujung panah, flakes, batu penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong. 

3. Mengenal Api.

slash and burn

  Bagi manusia  purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira  terjadi pada 400.000 tahun  yang  lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Dengan api kehidupan menjadi  lebih  bervariasi  dan  berbagai  kemajuan  akan  dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Di samping  itu penemuan api juga  memperkenalkan  manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada saat itu  digunakan  manusia  untuk  menghalau  binatang  buas  yang menyerangnya.  Api  dapat  juga  dijadikan  sumber  penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang.

Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada saat itu  digunakan  manusia  untuk  menghalau  binatang  buas  yang menyerangnya.  Api  dapat  juga  dijadikan  sumber  penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang. 

Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api.  Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan  dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api. 

Penelitian-penelitian  arkeologi  di  Indonesia  sejauh  ini  belum menemukan  sisa  pembakaran  dari  periode  ini.  Namun  bukan berarti manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan dari sumber api alam. 

4. Sebuah Revolusi.

Perkembangan  zaman batu yang dapat  dikatakan  paling penting dalam kehidupan manusia adalah zaman batu baru atau neolitikum. Pada  zaman  neolitikum  yang  juga  dapat  dikatakan sebagai zaman batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring dengan terjadinya  perubahan jenis pendukung kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai  mengenal  bercocok tanam dan beternak  sebagai  proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan

a. Kebudayaan Kapak Persegi.

kebudayaan kapak persegi

Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan  bentuk  alat  tersebut.  Kapak  persegiini  berbentuk persegi  panjang  dan  ada  juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia  bagian  barat,  seperti  Sumatra,  Jawa dan  Bali. Diperkirakan  sentra-sentra  teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian. 

b. Kebudayaan Kapak Lonjong.

kebudayaan kapak lonjong

Untuk nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk  penampang  alat  ini  yang  berbentuk lonjong.  Bentuk  keseluruhan  alat  ini  lonjong seperti  bulat  telur.  Pada  ujung  yang  lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan  kleinbeil.  Penyebaran  jenis  kapak lonjong  ini  terutama di Kepulauan  Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.  

Masa zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak batu juga ditemukan barang-barang  perhiasan,  seperti  gelang  dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar. Manusia purba pada waktu itu sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas  bebatuan  untuk  peralatan.  Penemuan dari  berbagai  situs  menunjukkan bahan yang paling sering dipergunakan adalah jenis batuan kersikan (silicified stones), seperti   gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper. 

Adapun jenis – jenis batuan ini di samping keras, sifatnya yang retas dengan pecahan yang cenderung tajam dan  tipis, sehingga memudahkan  pengerjaan. Di  beberapa  situs  yang  mengandung  fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun kualitasnya  kurang  baik. Contoh  semacam  ini dapat  diamati  pada  situs  Kedunggamping  di sebelah  timur  Pacitan,  Cibaganjing  di  Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.

c. Perkembangan Zaman Logam.

perkembangan zaman logam

Berakhirnya zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda  bila  dibandingkan dengan  yang  ada  di  Eropa.  Di  Eropa  zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu   dan   besi. Di Kepulauan Indonesia hanya  mengalami  zaman  perunggu  dan  besi. Zaman perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda - benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya nekara. 

5. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur).

kebudayaan masa praaksara

Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu manusia sudah mulai merancang sebuat tempat. 

   Adapun bentuk arsitektur pada masa praaksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan  bentuk  rumah  dan  bangunan  yang  berkembang  pada masa praaksara saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding goa tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari- hari, tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. 

Pada dinding goa - goa tertera gambar yang mengambarkan jenis binatang yang diburu atau binatang yang digunakan untuk membantu dalam perburuan. Anjing adalah binatang yang digunakan oleh manusia praaksara untuk berburu binatang. Bentuk pola hunian dengan menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan  bagian  bentuk  awal arsitektur di luar tempat hunian di goa.


Demikianlah artikel yang berjudul Kebudayaan Dan Teknologi Masa Praaksara. Apabila ada kekurangan ataupun kekeliruan dalam penulisan artikel ini, Pustaka Pengetahuan mengucapkan mohon maaf yang sebesar - besarnya. Silahkan tinggalkan pesan yang bijak pada kolom komentar yang tersedia. Terima kasih sudah mengunjungi, semoga bermanfaat.

Bahan bacaan lainnya, jika membantu tugas sekolah silahkan klik Berbagai Reviews

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan, silahkan klik Baraja Farm

Tutorial cara budidaya silahkan klik Baraja Farm Channel

Media sosial silahkan klik facebook.com

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar