Kumpulan artikel tentang Pengetahuan, pendidikan dan dunia

Selasa, 14 Mei 2019

Muhammad Al Fatih (Sultan Mehmet II), Sang Penakluk Konstatinopel

| Selasa, 14 Mei 2019
  Sultan Muhammad Al-Fatih adalah sosok pahlawan Islam yang sangat inspiratif. Beliau memimpin Kesultanan Turki Utsmani dan kaum Muslimin menuju kemenangan dengan menaklukkan Kekaisaran Bizantium, menaklukkan kota Konstantinopel, dan menjebol Tembok Theodosius yang legendaris. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi dalam salah satu hadits: “Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah yang menaklukkan kota itu, dan sebaik-baik pasukan, adalah pasukannya,” (HR. Ahmad).


Mehmed II


Conqueror of Constantinople


Muhammad Al Fatih (Fatih Sultan Mehmet)

Mehmed II (Turki Utsmaniyah: محمد ثانى Meḥmet-i sānī, Turki: II. Mehmet; 30 Maret 1432 – 3 Mei 1481), juga dikenal secara luas dengan Muhammad Al Fatih (Fatih Sultan Mehmet) merupakan penguasa Utsmani ketujuh dan berkuasa pada 1444 – 1446 dan 1451 – 1481. Capaiannya yang paling dikenal luas adalah penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 yang mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur, menjadikannya mendapat julukan 'Sang Penakluk' (الفاتح, el-Fatih). Mehmed dikenal sebagai pemimpin yang cakap dan mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, ilmu pengetahuan, matematika, dan menguasai enam bahasa saat berumur 21 tahun. Dia dikenal sebagai pahlawan di Turki maupun dunia Islam secara luas. Dalam sejarah Islam, Mehmed dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang hebat sebagaimana Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di 'Ain Al-Jalut melawan tentara Mongol). Di pemerintahan, Mehmed lebih memilih para pejabat tinggi dari latar belakang devşirme daripada mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, menjadikan kendali negara benar-benar terpusat pada sultan.


Awal Kehidupan Muhammad Al Fatih.

Mehmed lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, ibukota Utsmaniyah kala itu. Dia merupakan anak dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun. Saat Mehmed berusia sebelas tahun, dia dikirim untuk memerintah Amasya, sesuai tradisi Utsmani untuk mengutus para şehzade (pangeran) yang sudah cukup umur untuk memerintah di suatu wilayah sebagai bekal bila naik takhta kelak. Murad juga mengirimkan banyak guru untuk mendidik putranya, di antaranya adalah Molla Gürani. Syaikh Muhammad Syamsuddin bin Hamzah, salah satu ulama berpengaruh kala itu, juga menjadi guru dan orang dekatnya, membuatnya sangat mempengaruhi Mehmed sejak usia muda, utamanya dalam masalah pentingnya penaklukan Konstantinopel.


Penobatan Mehmed II, 1451

Setelah mengadakan perjanjian damai dengan Kadipaten Karaman di Anatolia pada 1444, Murad yang sebenarnya lebih tertarik dalam masalah agama dan seni daripada politik turun takhta dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada Mehmed yang saat itu masih dua belas tahun. Dengan keadaan seperti ini, wazir agung (perdana menteri) saat itu, Çandarlı Halil Pasya, memiliki kendali kuat atas negara. Halil Pasya sendiri berasal dari keluarga Çandarlı, salah satu keluarga paling berpengaruh dalam sejarah Utsmani (selain Wangsa Utsmaniyah sendiri) yang telah berhasil menciptakan politik dinasti dalam negara. Meski begitu, pengaruhnya tersaingi oleh Syaikh Syamsuddin yang sangat dekat dengan Mehmed.

Pada periode pertama masa kekuasaan Mehmed, pihak Utsmani diserang Kerajaan Hongaria yang dipimpin János Hunyadi yang melanggar gencatan senjata yang tertuang dalam Perjanjian Szeged (1444). Dalam keadaan seperti ini, Mehmed meminta ayahnya untuk kembali naik takhta, tetapi Murad menolak. Sebagai balasan, Mehmed menulis surat, "Bila Ayah adalah sultan, datanglah dan pimpinlah pasukan Ayah. Bila aku adalah sultan, aku memerintahkan Ayah untuk datang dan memimpin pasukanku." Murad kemudian datang dan memimpin pasukan, mengalahkan pasukan gabungan Hongaria-Polandia dan Wallachia yang dipimpin oleh Władysław III, Raja Hongaria dan Polandia; János Hunyadi, komandan pasukan gabungan Kristen; dan Mircea II, Voivode (Adipati/Pangeran) Wallachia dalam Pertempuran Varna (1444).

Murad kemudian didesak untuk kembali naik takhta oleh Çandarlı Halil Pasya yang tidak senang dengan kuatnya pengaruh Syaikh Syamsuddin pada masa kekuasaan Mehmed. Murad kembali naik takhta dan berkuasa hingga wafatnya pada tahun 1451. Sepeninggalnya, Mehmed kembali naik takhta dan dinobatkan di Edirne pada usia sembilan belas tahun.


Tahap Penaklukan Konstantinopel 


Penaklukan Konstantinopel


Sebelum penaklukan Konstantinopel

Konstantinopel, kota yang didirikan Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada 330 M, merupakan salah satu kota termasyur di dunia kala itu. Di dunia Kristen, kota ini menjadi yang terdepan dalam segi kebudayaan dan kesejahteraan, utamanya pada masa Wangsa Komnenos. Sebelas abad berikutnya, berbagai upaya penaklukan kota ini dilakukan oleh banyak pihak. Para pemimpin Muslim dari generasi ke generasi, diawali Mu'awiyah bin Abi Sufyan, juga termasuk mereka yang berusaha menaklukan Konstantinopel, meskipun semua upaya itu gagal. Meski begitu, sebelum tahun 1453, hanya satu kali kota ini berhasil diduduki, yakni pada masa Perang Salib Keempat. Pasukan Salib menduduki Konstantinopel dan mendirikan Kekaisaran Latin (Romawi Timur Katolik) pada 1204. Pasukan Salib menghancurkan berbagai hal di kota yang sebelumnya menjadi pusat agama Ortodoks ini. Hagia Sophia menjadi tempat mabuk-mabukan, berbagai bangunan sekuler dan keagamaan (gereja dan biara) tidak luput dari pengrusakan, para biarawati diperkosa di biara mereka, dan orang-orang yang sekarat terbaring sampai mati di jalan-jalan. Para bangsawan Romawi Timur Ortodoks kemudian mendirikan pemerintahan darurat di tiga tempat, Nicea, Trebizond, dan Epirus.

Pada masa kekuasaan Kekaisaran Latin, Konstantinopel mengalami kemunduran dalam berbagai segi. Sepertiga penduduk menjadi tuna wisma. Para pejabat, bangsawan, dan pemuka agama tinggi diasingkan. Segala kerusuhan ini menjadikan populasi Konstantinopel berkurang drastis. Timah dan perunggu dari berbagai bangunan diambil dan dijual untuk membiayai pertahanan negara. Hagia Sophia yang awalnya merupakan Basilika Kristen Ortodoks diubah menjadi Basilika Katolik sampai akhir masa kekuasaan pihak Katolik di Konstantinopel. Pihak Nicea mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Latin Katolik dengan merebut kembali Konstantinopel, memulihkan kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur Ortodoks pada 1261, tetapi pemerintahan di Trebizond dan Epirus masih terus berlanjut secara mandiri sebagai negara berdaulat. Meski pemerintahan Romawi Timur Ortodoks telah dipulihkan, negara telah kehilangan banyak sumber daya dan ekonominya dan berjuang untuk bertahan. Kaisar Mikhael VIII Palaiologos berhasil memulihkan sebagian keadaan Konstantinopel dan di masa kekuasaannya, penduduk Konstantinopel yang awalnya tinggal sekitar 35.000 jiwa naik dua kali lipat. Namun keadaan negara jatuh dalam kekacauan saat terjadi perang saudara sepeninggal Kaisar Andronikos III Palaiologos, Serbia menduduki sebagian wilayah kekaisaran, begitu juga Utsmani yang menguasai sebagian besar Balkan setelah Pertempuran Kosovo.


Penaklukan Konstantinopel oleh Utsmani.


Penaklukan Konstantinopel


Masuknya Sultan Mehmed II ke Konstantinopel, lukisan oleh Fausto Zonaro (1854-1929)
Peta kawasan Laut Tengah bagian timur sebelum penaklukan Konstantinopel. Wilayah Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) ditandai dengan warna ungu. Ungu atas (utara) adalah kawasan ibukota Romawi Timur, Konstantinopel. Ungu bawah (selatan) adalah wilayah Kedespotan Morea.

Saat Mehmed kembali naik takhta pada 1451, dia memusatkan perhatiannya untuk memperkuat angkatan laut Utsmani untuk persiapan penaklukan Konstantinopel. Di tepi Selat Bosporus bagian Asia, telah berdiri benteng Anadolu Hisarı yang dibangun oleh Sultan Bayezid I. Mehmed menindaklanjuti dengan membangun benteng Rumeli Hisarı yang lebih kokoh di tepi Eropa Bosporus. Pembangunan ini menjadikan Utsmani memiliki kendali penuh atas Selat Bosporus. Setelah pembangunan benteng, Mehmed memerintah pemungutan pajak atas setiap kapal yang melewati selat. Pihak Venesia mengabaikan peraturan tersebut dan kapal mereka tenggelam dengan satu tembakan meriam. Semua pelaut yang selamat dihukum penggal, kecuali kapten kapal yang jasadnya dipajang sebagai peringatan bagi mereka yang melewati selat.

Pada tahun 1453, Mehmed memulai pengepungan Konstantinopel dengan pasukan berjumlah antara 80.000 sampai 200.000 orang, kereta api artileri, dan 320 kapal. Kota ini dikelilingi oleh laut dan darat, armada ditempatkan di pintu Bosporus dari pantai ke pantai dalam bentuk bulan sabit untuk menghadang bantuan untuk Konstantinopel dari laut. Pada awal April, upaya penaklukan Konstantinopel dimulai. Pada awalnya, tembok kota dapat menahan pasukan Utsmani, meskipun Sultan Mehmed telah menggunakan meriam yang dibuat oleh Orban, insinyur dari Transilvania. Pelabuhan Tanduk Emas dilindungi menggunakan rantai penghadang dan dijaga dua puluh delapan kapal.

Dalam pengepungan ini, pihak Romawi Timur meminta bantuan dari Barat, tetapi Paus memberikan persyaratan agar Gereja Ortodoks Timur bersedia bergabung di dalam kewenangan kepausan di Roma. Pihak kekaisaran sendiri sebenarnya telah mengeluarkan maklumat penyatuan gereja, tetapi warga dan pemuka agama Ortodoks mengabaikannya karena kebencian mereka pada kewenangan Roma dan ritus liturgi Latin dalam Katolik, juga lantaran perbuatan umat Katolik pada masa pendudukan mereka atas Konstantinopel saat Perang Salib Keempat. Beberapa pasukan Barat datang memberikan bantuan, tapi sebagian besar penguasa di Barat sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan nasib Konstantinopel.

Pada 22 April, Mehmed mengirimkan kapal perangnya yang lebih ringan ke darat, di sekitar koloni Genova di Galata, dan ke pantai utara Tanduk Emas. Delapan puluh kapal diangkat dari Bosporus setelah membuka rute, kurang lebih satu mil, dengan kayu. Dengan keadaan demikian, pihak Romawi menempatkan pasukan mereka di atas dinding yang lebih panjang. Sekitar sebulan kemudian, Konstantinopel akhirnya berhasil ditaklukan pihak Utsmani setelah 57 hari pengepungan. Setelah penaklukan ini, Mehmed memindahkan ibukota Utsmani dari Edirne ke Konstantinopel. Dua keponakan dan pewaris Kaisar Konstantinus XI Palaiologos lantas menjadi pelayan dekat Mehmed dan kemudian masuk Islam dan diberi nama baru, Hass Murad dan Mesih. Hass Murad diangkat sebagai Gubernur Balkan, sementara Mesih menjadi Gubernur Gallipoli dan kemudian wazir agung pada masa kekuasaan putra Mehmed, Bayezid II. Kaisar Konstantinus XI sendiri meninggal pada hari penaklukan Konstantinopel, tetapi tidak ada saksi mata yang selamat yang melihat kematiannya. Kisah masyhur yang beredar menyatakan bahwa Konstantinus menanggalkan jubah kebesarannya dan berperang bersama prajurit yang tersisa sampai meninggal dalam pertempuran.

Setelah penaklukan Konstantinopel, Mehmed menghukum mati Çandarlı Halil Pasya pada 1 Juni 1453. Setelah peristiwa ini, keluarga Çandarlı kehilangan pengaruh yang mereka dapatkan sebelumnya, meski anggota keluarga ini ada yang diangkat menjadi wazir agung pada masa kekuasaan Bayezid II. Halil Pasya merupakan wazir agung pertama yang dihukum mati oleh sultan.


Makam Abu Ayyub


sang penakluk Konstatinopel


Saat pasukan Utsmani bergerak menuju Konstantinopel, Syaikh Syamsuddin menemukan makam Abu Ayyub al-Anshari, sahabat Nabi yang meninggal dalam Pengepungan Konstantinopel (674–678). Setelah Konstantinopel ditaklukan, Mehmed membangun Masjid Eyüp Sultan (Eyüp Sultan Camii) di tempat tersebut untuk menandai pentingnya penaklukan Konstantinopel dalam Islam dan pentingnya peran Mehmed sebagai ghazi.


Setelah penaklukan Konstantinopel

Setelah mengambil alih kepemimpinan Konstantinopel, Mehmed mengubah Hagia Sophia (dieja Aya Sofya dalam bahasa Turki) yang semula adalah Basilika Ortodoks menjadi masjid. Mehmed juga segera memerintahkan pembangunan ulang kota, termasuk memperbaiki dinding, membangun benteng, juga membangun istana baru. Untuk mendorong kembali orang-orang Yunani dan Genova yang pergi dari Galata, Mehmed memerintahkan pengembalian rumah-rumah mereka dan memberikan jaminan keamanan.

Mehmed juga memerintahkan pendirian bangunan Muslim dan komersial, seperti Masjid Rum Mehmed Pasya. Dari sini, kota berkembang dengan cepat. Pada akhir masa kekuasaannya, Konstantinopel berubah menjadi ibukota kekaisaran yang megah. Menurut sejarawan Utsmani kontemporer, Mevlânâ Mehmed Neşri, "Sultan Mehmed membuat keseluruhan Istanbul." Lima puluh tahun mendatang, Konstantinopel kembali menjadi kota terbesar di Eropa.

Di dunia Arab, Konstantinopel dieja dengan sebutan Qusṭanṭīniyya (Hijaiyah: قسطنطنية). Setelah Utsmani mengambil alih kota, nama Kostantiniyye yang merupakan ejaan Turki Utsmani dari kata Qusṭanṭīniyya digunakan sebagai nama resmi kota ini dalam bahasa Turki Utsmaniyah. Nama Islambol (berarti "Islam keseluruhannya") dibuat setelah penaklukan Konstantinopel dan digunakan untuk merujuk kota ini sebagai bentuk pernyataan kedudukan kota ini sebagai ibukota Kekaisaran Utsmani Islam. Penulis kontemporer menyatakan bahwa Sultan Mehmed sendiri yang membentuk nama itu. Beberapa sumber Utsmani menyatakan bahwa Islambol adalah nama umum yang digunakan saat itu. Antara abad ketujuh belas dan delapan belas, nama itu digunakan secara resmi. Penggunaan pertama kata Islambol dalam uang logam dilakukan pada tahun 1703 pada masa pemerintahan Sultan Ahmed III. Meski begitu, nama Kostantiniyye juga masih digunakan hingga abad kedua puluh.


Peradaban Yang Dibangun Pada Masa Sultan Muhammad al-Fatih


Masa Sultan Muhammad al-Fatih


Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri. Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari


Wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih

Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.

Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.


Demikianlah yang dapat kami sampaikan, jika ada kesalahan atau kekurangan kami mohon maaf, silahkan tinggalkan komentar dengan sifatnya membangun menjadi lebih baik. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih.


Hal - Hal yang Dapat Diteladani dari Muhammad Al Fatih (Sultan Mehmed II )
https://www.pustakapengetahuan.com/2019/05/hal-hal-yang-dapat-diteladani-dari.html

Pengertian Sejarah

Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki

Bahan bacaan lainnya, jika membantu tugas sekolah silahkan klik Berbagai Reviews 

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan, silahkan klik Baraja Farm 



Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar