Kumpulan artikel tentang Pengetahuan, pendidikan dan dunia

Rabu, 27 April 2022

Pengertian Ijtihad, Dasar Hukum Ijtihad, Fungsi Ijtihad

| Rabu, 27 April 2022
ijtihad


Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa- masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa  yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.

Sekarang,   banyak   ditemui   perbedaan - perbedaan   madzab   dalam   hukum   Islam   yang   itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan  sudah  tentu  masing-masing mujtahid  berupaya  untuk  menemukan  hukum  yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil - dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah - masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru terjadi.


Pengertian Ijtihad

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:



…مهدهج لَإ نودجي لَ نيذلاو  …


Artinya:


“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)


Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:


ءاعدلا ىف و ادهتجو يلع اولص


Artinya:


“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”


ءاعدلا ىف اودهتجاف دوجسلاامأو


Artinya:

“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”


Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh- sungguh dan tidak disenangi.

Ijtihad adalah masdar dari fiil   madzi    ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’    pada    kata ja-ha- da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka- sa-ba menjadi iktasaba,   yang   berarti   “usaha   lebih   kuat   dan   sungguh-sungguh”.   Oleh   sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha   yang   dilakukan   tidak   maksimal   dan   tidak   menggunakan   daya   upaya   yang   keras   tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.

Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:

  1. Ibnu   Abd   al-Syakur,   dari   kalangan   Hanafiyah   mendefinisikannya   sebagai:   “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
  2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
  3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”

Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu adalah ahli fikih,  yaitu  mujtahid,  dan tempat  menemukan  hukum-hukum itu  adalah dalil-dalilnya.  Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.

Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal berikut:

  • Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
  • Pencurahan  segenap  kemampuan  untuk  mendapatkan  hukum  syarak  yang  amali  dengan
  • menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
  • Pencurahan  segenap  kesanggupan  untuk  mendapatkan  hukum  syarak  yang  ‘amali  mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.


Dasar Hukum Ijtihad.

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:

1. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105


Q.S. An-Nisa ayat 105


Artinya:

“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”


2. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:


Q.S. An-Nisa ayat 59


Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika  kamu  berlainan pendapat  tentang sesuatu,  maka  kembalikanlah  ia  kepada  Allah  (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al- Qur’an karena persamaan ‘illatnya seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.


3. Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya: Sabda Nabi SAW

Yang artinya:

“Apabila   hakim   memutuskan   hukum   dengan   berijtihad   dan   ia   menemukan   kebenaran   dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.

Hadits  yang  menerangkan  dialog  Rasulullah  SAW  dengan  Mu’adz  bin  Jabal,  ketika  Muadz  diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an.

Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya  berdasarkan  Sunnah  Rasulullah.  Lebih  lanjut  Nabi  bertanya:,  Jika  kasusnya  tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi- Nya.”(HR.Abu Dawud).

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.


Fungsi Ijtihad

Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:

  1. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
  2. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
  3. Ijtihad  berfungsi  pula  sebagai  suatu  cara  yang  di  isyariatkan  untuk  menyesuaiakan  perubahan- perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
  4. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini:

  • Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
  • Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
  • Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.


Macam - Macam Ijtihad

Dikalangan    ulama,    terjadi     perbedaan    pendapat    mengenai    masalah ijtihad.    Iman    Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas,    yakni    dua    macam,    tetapi    maksudnya    satu.    Dia    tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.

Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahi, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat  apakah  hal  itu  ada  dasarnya  atau  tidak.  Berdasarkan  pendapat  tersebut,  Dr.  Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitab Al-Muwafakat, yaitu:

  1. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
  2. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
  3. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.

Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu al- Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:

1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’.

Mujtahid dibebaskan  untuk  berpikir,  dengan  mengikuti  kaidah-kaidah  yang  pasti.  Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.

2. Ijtihad   syari’, yaitu ijtihad yang   didasarkan   pada   syara’,   termasuk   dalam   pembagian   ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain. Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Ijtihad  Fardi,  menurut  al-Thayyib  Khuderi  al-Sayyid,  yaitu  ijtihad  yang  dilakukan  oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
  • Ijtihad  Jama’i, adalah  apa  yang  dikenal  dengan  ijma’  dalam  kitab-kitab  Ushul  Fiqh,  yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama- ulama  dalam  satu  disiplin  ilmu,  yaitu  fikih.  Dalam  perkembangannya,  apa  yang  dimaksud dengan ijtihad  jama’i, seperti  dikemukakan al-Thayyib  Khuderi  al-Sayyid,  disamping  bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.


Syarat - Syarat Ijtihad.

Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat  ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Menguasai  dan  mengetahui  arti  ayat-ayat  hukum yang terdapat  dalam Al-Qur’an,  baik menurut bahasa  maupun  syari’ah.  

Akan  tetapi,  tidak  disyaratkan  harus  menghafal,  melainkan  cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.

2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. 

Ibnu Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab- kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis. Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain.

3. Mengetahui  nasakh  dan  mansukh  dari  Al-Qur’an  dan  As-Sunah,  supaya  tidak  salah  dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. 

Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An- Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.4.   Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.

5. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.

6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. 

Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang- kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.

7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih

8. Mengetahui  maqashidu  Asy-Syari’ah  (tujuan  syari’at)  secara  umum,  karena  bagaimanapun  juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum.

Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan  maqashidu  Asy-Syari’ah  sebagai  standarnya.  Maksud  dari  maqashidu  al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia dari menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya. Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belum mencukupi. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu hal yang mudah dan memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad yang dilakukan secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.


Tingkatan Mujtahid

Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad.

Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para  ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya   perbedaan   antara mujtahid   mutlaq,   mujtahid   muqayyad,   dan mujtahid   muntasib yang semuanya berbeda. Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.

a. Mujtahid Fisy Syar’i

Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.b. Mujtahid Fil Masa’il

Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab  Hanafi,  Imam Al  Gazali  merupakan  mujtahid  dalam mazhab  Syafi’i,  dan  Al  Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.

c. Mujtahid Fil Mazhab

Mujtahid  yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.

d. Mujtahid Muqayyad

Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat  ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.


Objek Ijtihad.

Menurut  Al-Ghazali,  objek ijtihad adalah  setiap  hukum  syara’  yang  tidak  memiliki  dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.

Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:

1. Syari’at  yang  tidak  boleh  dijadikan  lapangan ijtihad,  yaitu  hukum-hukum  yang  telah  dimaklumi sebagai  landasan  pokok   Islam,   yang  berdasarkan   pada   dalil-dalil   yang qathi’, seperti   kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.

Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.

Q.S. An-Nur ayat 56


Artinya:

“Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)

Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.


2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.

Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain. Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.


Hukum Melakukan Ijtihad.

Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:

  1. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
  2. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
  3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
  4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak. 
  5. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.


Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai "Ijtihad ". Jika ada kesalahan ataupun kekeliruan yang terdapat pada penulisan artikel ini, kami selaku pustakapengetahuan.com mengucapkan mohon maaf yang sebesarnya. Silahkan tinggalkan pesan ataupun komentar yang berguna untuk perbaikan yang akan datang.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar